Selasa, 08 Juli 2008

Tautologi Socio Kultural dalam Maxim Grice


Peran bahasa dalam hidup manusia begitu krusial. Bahkan sangking krusialnya bahasa itu menentukan pola pikir manusia. Dengan kata lain jikalau kemampuan dan kapasitas berbahasa orang itu terbatas maka terbatas pula isi dan pemetaan kognitif orang tersebut. Adapun teori linguistic deterministic itu adalah dari Sapir dan Whorf yang mengatakan: thought may be no more conceivable, in its genesis and daily practice, without speech than mathematical reasoning practicable without the lever of an appropriate mathematical symbolism. (in Silby,2000). Maksud Sapir dan Whorf adalah tidak hanya bahasa menentukan pola pikir manusia namun juga tanpa bahasa maka tidak mungkin manusia berpikir. Selanjutnya menurut mereka realitas dengan bahasa, realitas itu dibangun dalam konsep dan ide yang dianut oleh suatu komunitas.
Menurut saya pribadi bahasa begitu multifacet. Di satu sisi bahasa dipandang sebagai entitas yang universal in terms of suatu media bagaimana realitas social itu dibentuk oleh komunitas berbahasa tersebut namun di sisi lain text sebagai bentuk ekstrovert dari bahasa tampil sebagai sesuatu yang unik dan sangat kulturalistik.
Dalam keunikannya itu, maka untuk mengerti suatu bahasa tertentu mau tidak mau pemahaman akan sosio cultural masyarakat pemakai bahasa menjadi suatu hal yang harus dimiliki oleh siapapun pembelajar bahasa tersebut. Salah satu ciri keunikan yang cultural itu muncul dari flaws yang terjadi pada saat proses komunikasi. Flaws menurut Grice* dianggap sebagai suatu pelanggaran terhadap maxim atau aturan berbahasa. Dan bila dilanggar tentu ada makna tertentu dibalik ujaran yang dihasilkan. Lebih lanjut idealnya dalam berkomunikasi orang harus tunduk pada 4 maxim yaitu:
Maxim of Quantity:
1. Make your contribution to the conversation as informative as necessary.
2. Do not make your contribution to the conversation more informative than necessary.
Maxim of Quality:
1. Do not say what you believe to be false.
2. Do not say that for which you lack adequate evidence.
Maxim of Relevance:
Be relevant (i.e., say things related to the current topic of the conversation).
Maxim of Manner:
1. Avoid obscurity of expression.
2. Avoid ambiguity.
3. Be brief (avoid unnecessary wordiness).
4. Be orderly.

Pelanggaran terhadap maxim of quantity:
Seringkali orang Indonesia merasa tidak nyaman untuk tidak berbicara dengan orang yang tidak dikenalnya bila mereka berada dalam satu ruangan misalnya di ruang tunggu dokter, atau kereta api. Dari ketidaknyamanan itu “keterpaksaan” untuk berbicara hal-hal yang tidak perlu. Si pembicara lebih banyak mendominasi pembicaraan dengan menceritakan hal-hal yang tidak perlu.
A: tinggalnya di mana Pak?
B: Di dekat sini.
A: Oh gitu ya…. Tapi menurut saya tempat tinggal di sini agak panas. Kalau di tempat kami dingin dan sejuk Pak. Pohonnya rindang dan belum banyak kendaraan makanya tidak banyak polusi. (Ngoceh terus….)
Pelanggaran terhadap maxim of quality
Seringkali orang Indonesia menyembunyikan kenyataan atau sesuatu yang tidak mengenakkan sesungguhnya terjadi. Misalnya:
A: tanganmu berdarah, B?
B: nggak apa-apa cuma tergores belati kok. Kan cuma tangan…
Fakta sebenarnya (kesakitan luar biasa) disembunyikan dalam simbol kata demi keselarasan itu sendiri.

Pelanggaran terhadap maxim of relevance
Seringkali komunikasi terjadi secara berputar-putar, tidak langsung ketujuan. Isi pembicaraan berputar-putar dari topic A ke B lalu C lalu ke A dan B dst. Diam berarti membuat “kegaduhan” sehingga mengganggu keselarasan. Jadi pembicaraan terus sambung menyambung menjadi satu
Dua orang mau ke toilet
A: selamat pagi Pak B
B: selamat pagi Pak A
A: gimana kabarnya…kelihatan sibuk nih (kebelet)
B: oh ndak…(sangat kebelet)
(pembicaraan masih diteruskan bahkan ketika sudah ada di toilet berdiri, mereka berdampingan)…
A: gimana perjalanan ke kantor tadi pagi…Pak?
B: ehhh…ehh…(agak sulit ngomong soalnya agak sulit k….)
A: hari ini ada rapat nggak ya?
B: …eh…eh…(nggak bisa p…)
A: nanti saya tanyakan ke Pak…

Pelanggaran terhadap maxim of manner
Bahasa yang digunakan sangat metaforis sehingga menyulitkan pendengar untuk mengetahui makna apa di balik ujaran tersebut.

Grice boleh membuat maximnya. Namun yang jelas dalam relitas social bahasa tidak sesederhana dan dipetakan sesuai maxim itu..dia mengalir…..bebas….



*Herbert Paul Grice was born on March 13, 1913 in Birmingham, England and died on August 28, 1988 in Berkeley CA. Grice received firsts in classical honours moderation (1933) and literae humaniores (1935) from Corpus Christi College, Oxford. After a year teaching in a public school, he returned to Oxford where, with a nearly five year interruption for service in the Royal Navy, he taught in various positions until 1967 when he moved to the University of California-Berkeley. He taught there past his official 1979 retirement until his death in 1988. He was philosophically active until his death — holding discussions at his home, giving lectures and editing a collection of his work that was posthumously published as Studies in the Way of Words. He is best known for his innovative work in philosophy of language, but also made important contributions to metaphysics, ethics and to the study of Aristotle and Kant.