Jumat, 30 Januari 2009

Politeness (Part1)

Hi, good morning, how are you, I’m fine, thank you are among commonly used expressions people say when starting to converse with other people in day to day life. No matter how bad or good the day might be, people would keep saying ‘good morning’. Furthermore, in reply to the addresser’s question of ‘how are you’, the addressee probably says ‘I’m fine, thank you’ despite the fact that the latter might be confronted by terrible feelings inside. By contrast, if a person does otherwise, not saying anything to his or her neighbors or being silent , then the other person would most probably raise his eyebrows and readily suspect that something must have gone wrong.
Perhaps, people do these as a routine, all of which seem to have gone by automatically and mechanically, they hardly think why to do so. Why do they have to smile, nod their heads and use different modes of utterances when meeting to other different people? Why do these behaviors seem to be imposing on people, and hence the latter must be willing to wear “the mask”, letting “the roaring terrible feeling” be deeply subordinated and hidden deep inside their minds?
Hill (1986) views these ‘constraining’ social attitudes as politeness that aims at considering other’s feelings, establishing of mutual comforts, and promoting rapports. Lakkof (1972), on the other hands, regards politeness as ‘what we think is appropriate behavior in particular situations in an attempts to achieve and maintain successful social relationship with others’.
Hence, politeness as constraining deeds in this sense prescribes a system of conducts, norms, convention, and the like that comes into play functioning as means of guiding and organizing the flow of message (verbal) and behavior (non verbal). By satisfying this culturally prerequisite demand, we can say that people’s behavior is considered polite. By contrast, the violation of this constraint might be labeled as impoliteness or inappropriate attitudes according to the prevailing norms.
Politeness as part of social dimension has been the study of sociologist Erving Goffman (1967) who sees it as symbolic interaction shared by individuals. He puts an analogy of these social phenomena like drama performance on the stage involving actors and audiences. Just like the actor who wants to look good before the audience, person in real life expects to do so as to make his face or esteem recognized, liked and appreciated. In attaining that objective, he complements other people. This is called a positive face. However, when a person intends his desire be acceptable, for not infringing the other person, it is called negative face.

Rabu, 28 Januari 2009

Siapakah Pengajar yang Baik Itu?


Pengajaran yang berkualitas adalah sesuatu yang menjadi dambaan setiap insan pengajar. Kalau dulu, bentuk evaluasi pengajaran banyak dilakukan oleh pihak pengajar yang mengampu mata kuliah itu sendiri. Nilai hasil evaluasi, misalnya kuis atau ujian, menjadi tolak ukur penilaian model tersebut. Selanjutnya, bila proporsi nilai para mahasiswa berada di atas standard yang ditentukan lebih besar dari kelompok mahasiswa dengan nilai di bawah standard maka pengajaran yang selama ini telah dilangsungkan dianggap bermutu. Namun bahkan sebaliknya, banyaknya jumlah mahasiswa yang tidak lulus dari pada mereka yang lulus bisa dijadikan tolak ukur bahwa mata kuliah tersebut ‘berkualitas’.
Dewasa ini selaras dengan seruan Dirjen Dikti mengenai proses penjaminan mutu di lembaga perguruan tinggi, telah banyak digalakkan penggunaan suatu model evaluasi partisipatoris di mana mahasiwa berperan dalam melakukan penilaian (Dirjen Dikti, 2003). Di Amerika bentuk evaluasi seperti ini telah banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga perguruan tinggi. Sekalipun model penilaian mahasiswa tersebut juga tidak sepenuhnya imun dari bias penilaian pandangan dan penilaian mereka amat penting untuk memperoleh gambaran yang lebih komprehensif dan seimbang tentang kualitas pengajaran selain hasil evaluasi dari dosen.
Sebuah riset tentang persepsi mahasiswa terhadap mutu pengajaran dilakukan oleh lembaga GEES melalui kompetisi penulisan essay (Wright,2005). Responden penelitian tersebut diminta untuk menulis secara detail aspek-aspek apa yang menjadi bagian dari pengajaran berkualitas. Belajar dari hasil temuan mereka itu, paling tidak ada dua aspek dasar yang menurut mata mahasiswa sangat penting terkait dengan masalah kualitas pengajaran yaitu; a) kepribadian (what a good teacher is) dan b) proses pengajaran (what a good teacher does). Aspek kepribadian yang dimaksud di sini adalah menyangkut sifat dan sikap pengajar bersangkutan. Sementara itu, proses pengajaran adalah menyangkut kemampuan pengajar dalam mengajar dan mengkomunikasikan pokok materi perkuliahan di kelas.
Dari aspek kepribadian terdapat ada tiga unsur pendukung yang penting yaitu: a) aksesibilitas (accessible), b) antusias (enthusiastic), dan c) humoris (humor and fun).
Seorang pengajar dapat dikatakan memiliki aksesibilitas tinggi bila dia melakukan beberapa hal berikut ini yaitu a) mudah untuk ditemui untuk diajak berkomunikasi dengan demikian memandang pentingnya komunikasi sebagai kebutuhan mahasiswa, b) idea atau penjelasan yang disampaikan mudah dimengerti, c) selalu bersikap terbuka dan ramah dalam bersikap dan berdiskusi dengan mahasiswa. Dengan kata lain, pengajar yang baik adalah pengajar yang bersedia menempatkan mahasiswa sebagai mitra dan bukan sebagai ‘botol kosong’ atau ‘anak kecil”.
Terkait dengan unsur antusias, pengajar dalam hal ini diharapkan mampu menunjukkan peforma mengajar yang bersemangat dan hidup (the feeling of lively and cheerful joy). Mengajar bukanlah menjadi suatu beban, namun sebagai suatu pekerjaan yang menimbulkan gairah dan vitalitas sebagaimana terpancar dari wajah dan penampilannya yang menyenangkan. Akibatnya, mahasiswa akan mengalami suasana belajar yang penuh semangat dan semakin termotivasi dalam belajar.
Selain itu, pengajar juga dituntut untuk mempunyai sikap yang yang humoris. Sikap humoris berarti bahwa si pengajar mencoba mengolah isi pengajarannya sedemikian rupa sehingga bisa menimbulkan suasana jenaka di kelas. Suasana belajar yang semula kaku menjadi cair. Dengan mood yang baik ini maka siswa akan semakin mudah untuk menerima apa yang disampaikan oleh pengajar.
Aspek kedua tentang pengajaran yang bermutu adalah proses pengajaran yang dilakukan pengajar di kelas (what a good teacher does). Dalam proses di kelas ini ada beberapa hal yang harus dipenuhi oleh pengajar yaitu: a) kemampuan pengajar untuk mengaitkan teori dengan pengalaman hidup nyata (practical experience relating theory), b) kemampuan penyampaian content dan konsep pengajaran dengan diksi dan media pendukung (teaching delivery) dan c) keterbukaan untuk berkomunikasi secara individu (an open door policy in order to deal with students individually).
Kemampuan pengajar mengaitkan teori dengan pengalaman hidup adalah kemampuan pengajar untuk “membumikan” konsep pengajarannya sehingga mudah dicerna oleh siswanya. Kesan pengajaran yang terlalu teknis, teoritis seringkali mendemotivasikan mahasiswa dan kurang menstimulasi kegairahan belajar. Sebaliknya ketika konsep itu bisa dibahasakan dalam realitas praktis, selain untuk lebih menarik dan dicernanya melalui contoh yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, mahasiswa akan semakin mengetahui bahwa pengertian-pengertian baru itu bisa memberi manfaat pragmatis yang bisa diterapkan pula dalam kehidupan mereka.
Kemampuan penyampaian pengajaran melalui media verbal dan visual juga menjadi unsur penting dalam pengajaran yang berkualitas. Media verbal yang dimaksud di sini menyangkut kemampuan pengajar dalam menggunakan diksi yang tepat dan relevan dengan tingkat pemahaman siswa. Selain itu juga ada hal-hal baru (novelty) yang dipelajari. Selain itu, penggunaan media yang menarik akan sangat mendorong suatu pengajaran yang berkualitas misalnya dengan penyajian materi dalam presentasi power point dan web support.
Bagian terakhir dalam proses pengajaran adalah kemampuan pengajar untuk berkomunikasi dalam basis individu. Dalam pengertian ini, pengajar tidak menutup diri dan mengganggap dirinya sebagai manusia yang eksklusif. Sebaliknya dengan keterbukaan dan sikap yang menerima atas kelebihan dan kekurangan mahasiswanya, pengajar melangsungkan komunikasi.
Belajar dari penjelasan di atas, kemunculan dua variable (kepribadian dan proses pengajaran) bisa diterjemahkan betapa mahasiswa memandang pentingnya suatu bentuk pola komunikasi yang lebih kondusif dari pihak pengajar. Kondisi kondusif berarti menuntut adanya suatu perubahan yang sifatnya lebih personal dari pihak pengajar. Hal ini dipahami karena memang seringkali dalam kenyataan hidup sehari hari mahasiswa termarginalkan haknya. Mereka kurang di’manusia’kan, oleh karena sikap-sikap pengajar yang kurang mau membuka diri untuk berdiskusi entah karena satu atau hal yang lain. Pengajar acapkali membuat jurang komunikasi yang terlalu jauh sehingga membuka ruang diskusi yang lebih ‘jauh’ (pribadi) menjadi tidak mungkin.
Tuntutan performa menurut criteria mahasiswa di atas memang bukanlah hal yang mudah. Dosen atau pun pengajar adalah manusia yang juga pada dasarnya memiliki sisi keunikan yang berbeda satu dengan yang lain. Namun demikian apa salahnya bila kita pihak pengajar juga sedia melihat sisi positif dari pandangan dan harapan mahasiswa tersebut. Bila memang pada akhirnya hal tersebut memberi dampak yang positif terhadap kualitas pengajaran, mengapa tidak dilakukan? Mungkin ada baiknya bila kita mencoba.

References
Dirjen Pendidikan Tinggi, 2003. Pedoman Penjaminan Mutu (Quality Assurence) Pendidikan Tinggi. Departement Pendidikan Nasional.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Wright, N Paul.2005. So what really makes a good GEES lecturer? Planet No. 15 December 2005

Sebuah Kajian Antropologis masyarakat Jawa: Gak Ono yo Gak Ngene


Pemikiran Arief Budiman (Tempo, 9 September 1989) sebagaimana disadur oleh dosen UM Sanapiah Faisal terus menggelitik alam bawah sadar saya. Tulisan Arief itu sebenarnya merupakan refleksi kebingungannya untuk mengerti siapa sih sesungguhnya orang Jawa itu. Apa karena sangking tingginya tingkat fleksibilitas dunia sosialnya yang bisa bermain di semua lini alam dan musimkah orang Jawa menjadi sulit dipahami dan akhirnya melahirkan kebinggungan Arief itu? Atau apa?
Analoginya berlatar belakang kisah dunia pewayangan dengan melibatkan tiga tokoh sentral yaitu Kumbakarna, Wibisana dan Karna.
Kumbakarna(कुम्भकर्ण): Dia adalah adik Rahwana. Sebagai seorang adik dengan posisi penting di kerajaan Alengka Kumbakarna tentu merupakan manusia yang sangat dipertimbangkan dalam banyak hal. Pada saat kerajaan Alengka sedang resah karena perang besar semakin mendekat. Alkisah hal ini ditenggarai oleh kesalahan fatal sang kakak karena mengambil sesuatu yang bukan haknya. Namun karena kumulusan, kemolekan dan body nan yahud dengan sejuta bayangan syur di ranjang empuk dengan si jelita semua telah mengaburkan rasionalitas kakak. Kumbakarna menasehati kakak “yo ojok ngono tah kang! Iku mung dudu bagianmu,” kata Kumbakarna dengan bijak. Dengan harapan, nasihatnya bisa menyadarkan sang kakak yang sudah mabok kepayang. Rahwana tetap tak perduli dan perang pun terjadi, darah pun tertumpah. Kewalahan menghadapi Rama, Rahwana minta Kumbakarna melawannya. Kumbakarna maju melawan Rama bertempur dan akhirnya mati.
Wibisana (विभीषण): adalah adik kandung Rahwana. Baik Kumbakarna dan Wibisana sama sama orang penting dan sama-sama merasa ada yang tak beres dengan kakak. Seperti halnya Kumbakarna, Wibisana pun datang ke kakak untuk menasihati dan menawarkan solusi untuk mengembalikan barang curian kepada pemiliknya. Rahwana tidak mau mendengar pendapat Wibisana. Tahu betapa keras kepalanya sang kakak, Wibisana menyeberang ke Negara musuh untuk bergabung. Segala kelemahan Rahwana diceritakan kepada Rama. Akibatnya, pada saat perang terjadi, Rahwana yang begitu digdayanya dengan mudah dikalahkan.
Karna: Karna adalah saudara Pandawa yang menjabat di negara Kurawa. Sebagai pejabat teras dengan gaya khas kejujuran ditambah wawasan yang luas, dia menjadi orang top disegani di Kurawa. Alkisah, perang dengan Negara seberang sudah dijawdalkan dengan demikian ini berarti Karna akan berprang dengan kakak dan adik adiknya sendiri. Karna jelas tahu bahwa Kurawa adalah masyarakat yang penuh masalah akan kejalimannya. Tapi bila dia menyeberang ke Pandawa, jelas amanat dewa di mana di atas kezaliman harus musnah dan tunduk akan kebenaran tidak akan pernah terjadi. Kurawa akan takut dengan Karna. Perang pun terjadi, dengan Karna berada di squad Kurawa. Dia pun mati.
Jadi di manakan posisi orang Jawa dengan tiga prototype wayang ini? Jawabannya adalah orang Jawa tidak bisa ini dan itu. Mereka melihat semua ada sisi ada baik dan buruknnya. Yang aman ya yang ditengah. Ya tidak ini ya tidak itu. Repot memang……